Sabtu, 13 Agustus 2011


 SYARI’AH

A. PENGERTIAN SYARI’AH DAN RUANG LINGKUPNYA

Makna asal syari’ah adalah jalan ke sumber (mata) air, dahulu (di Arab) orang mempergunakan kata  syari’ah untuk sebutan jalan setapak menuju ke sumber (mata) air yang diperlukan manusia untuk minum dan membersihkan diri (Mohammad Daud Ali; 1997:235)
Kata syari’ah ini juga berarti jalan yang lurus, jalan yang lempang tidak berkelok-kelok, juga berarti jalan raya. Kemudian penggunaan kata syari’ah ini bermakna peraturan, adat kebiasaan, undang-undang dan hukum (Ahmad Warson Munawwir ; 1984:762).
Di dalam Al-Mausuatul Arabiyah Al-Muyassarah, seperti yang dikutip Muhammadiyah Jafar, disebutkan bahwa Syari’ah dahulu secara mutlak diartikan : “Ajaran-ajaran Islam yang terdiri dari akidah dan hukum-hukum amaliah, yang kini telah dikhususkan (dibatasi) dengan istilah :
Artinya : “Sejumlah hukum syari’ yang amaliah (praktis) yang diistimbat dari Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Sunnah atau dari ra’yu dan ijma”.
Syari’ah Islam berarti: Segala peraturan agama yang telah ditetapkan Allah untuk ummat Islam, baik dari Al-Qur’an maupun dari Sunnah Rasulullah saw. yang berupa perkataan, perbuatan ataupun takrir (penetapan atau pengakuan).

Pengertian tersebut meliputi ushuluddin (pokok-pokok agama), yang menerangkan tentang keyakinan kepada Allah beserta sifat-sifat-Nya, hari akhirat dan sebagainya, yang semuanya dalam pembahasan ilmu Tauhid, atau ilmu Kalam. Ia juga mencakup kegiatan-kegiatan manusia yang mengarah kepada pendidikan jiwa dan keluarga, serta masyarakat. Demikian pula tentang jalan yang akan membawanya kepada kehidupan yang sejahtera dan bahagia. Ini semuanya termasuk dalam pembahasan ilmu akhlak.
Menurut pengertian-pengertian tersebut, syariah itu meliputi hukum-hukum Allah bagi seluruh perbuatan manusia, tentang halal, haram, makruh, sunat dan mubah. Pengertian inilah yang kita kenal dewasa ini dengan nama “Ilmu Fiqhi”, yang sinonim dengan istilah : undang-undang.
  Para pakar hukum Islam selalu berusaha memberikan batasan pengertian “Syari’ah” yang lebih tegas, untuk memudahkan kita membedakannya dengan fiqh, yang diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Imam Abu Ishak As-Syatibi dalam bukunya Al-Muwafaqat fi ushulil ahkam mengatakan :
Artinya : “Bahwasannya arti syariat itu, sesungguhnya, menetapkan batas tegas bagi orang-orang mukallaf, dalam segala perbuatan, perkataan dan akidah mereka.
2. Syikh Muhammad Ali Ath-thahawi dalam bukunya kassyful istilahil funun, mengatakan:

Artinya : “Syariah ialah; Segala yang telah disyariatkan Allah untuk para hamba-Nya, dari hukum-hukum yang telah dibawa oleh seorang nabi dari para Nabi Allah as. Baik yang berkaitan dengan cara pelaksanaannya, dan disebut dengan far’iyah amaliyah, lalu dihimpun dalam imu fiqh atau cara berakidah yang disebut dengan
pokok-pokok akidah, dan dihimpun oleh ilmu kalam, dan syariah ini dapat disebut juga dengan diin (agama) dan millah.
Definisi tersebut menegaskan bahwa, syari’ah itu muradif (sinonim) dengan diin dan millah (agama). Berbeda dengan ilmu fiqh, karena ia hanya membahas tentang amaliyah hukum (ibadah), sedangkan bidang akidah dan hal-hal yang berhubungan dengan alam ghaib, dibahas oleh ilmu kalam atau ilmu tauhid.
3. Prof. DR. Mahmud Syalthut mengatakan bahwa :

“Syari’ah ialah segala peraturan yang telah disyariatkan Allah, atau Ia telah mensyariatkan dasar-dasarnya, agar manusia melaksanakannya, untuk dirinya sendiri, dalam berkomunikasi dengan Tuhannya, dengan sesama muslim, dengan sesama manusia, dengan alam semesta, dan berkomunikasi dengan kehidupannya.”
Di dalam pengertian syariah tersebut, Syalthut menegaskan, lima faktor pokok yang merupakan tangung jawab kaum muslim khususnya, dan manusia pada umumnya, untuk menikmati kesejahteraan di dunia, dan kebahagiaan yang abadi di akhirat yaitu:
a. Hubungan manusia dengan Tuhannya secara vertical, melalui `ibadah, seperti: Shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya.
b. Hubungan manusia muslim dengan saudaranya yang muslim, dengan silaturahmi, saling mencintai, tolong menolong dan bantu membantu di antara mereka dalam membina keluarga dan membangun masyarakat mereka.
c. Hubungannya dengan sesama manusia, dengan tolong menolong dan bekerjasama, dalam meningkatkan taraf hidup dan kehidupan masyarakat secara umum dan perdamaian yang menyeluruh.
d. Hubungannya dengan alam lingkungan khususnya, dan alam semesta pada umumnya, dengan jalan melakukan penyelidikan tentang hikmah ciptaan Allah. Untuk memanfaatkan pengaruhnya, dalam kemakmuran dan kesejahteraan ummat manusia.
e. Hubungannya dengan kehidupan dengan jalan berusaha mencari karunia Allah yang halal, dan memanfaatkannya di jalan yang halal pula, sebagai tanda kesyukurannya kepada-Nya, tanpa tabdzir atau bakhil, atau penyalahgunaan atas nikmat dan karunia Allah SWT itu.

Kelima faktor tersebut merupakan hakikat (inti) syari’at Islam, yang didalam Al-Qur’an disebut Amal Shalih. Sedangkan akidah yang merupakan dasar pokok disebut dengan Iman. Integrasi antara akidah dan syariah disebut dengan Islam. Dan orang yang meyakini kebenarannya, dan mengamalkan ajaran-ajarannya disebut dengan muslim dan mukmin. Mereka itulah yang mendapat jaminan Allah atas keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat (Muhammaddiyah Djafar : 1993:21-25).
Sebagaimana Allah jelaskan di dalam banyak ayat Al-Qur’an yang diantaranya:
Artinya : “Barang siapa orang yang beramal shalih baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman maka sesungguhnya Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. An Naml 96).
Firman Allah :
Artinya : ”Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka adalah surga firdaus menjadi tempat tinggal, mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah dari padanya.” (QS. Al-Kahfi: 107-108).
Jadi syariah Islam secara mutlak dimaksudkan seluruh ajaran Islam, baik yang mengenai keimanan, amaliah ibadah, maupun yang mengenai akhlak. Firman Allah :
Artinya : “Kemudian Kami jadikan engkau berada di atas suatu syariah (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah dia (syariah itu), dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS Al-Jatsiah: 18).

B. SYARI’AH DAN FIKIH SERTA KEABADIAN SYARI’AH ISLAM

Apabila disebutkan syari’ah Islam, maka secara mutlak dimaksudkan seluruh ajaran Islam, baik yang mengenai keimanan, atau mengenai amaliah ibadah, maupun yang mengenai akhlak; bukan ilmu fikih itu sendiri. Ilmu fikih adalah bagian dari syari’ah, sehingga ilmu fikih lebih sempit daripada syari’ah.
Di dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
Artinya: “Kemudian Kami jadikan engkau berada di atas suatu syari’ah (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah dia syari’ah itu, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.”
Syari’ah yang dimaksud dalam ayat itu ialah ajaran Islam secara integral.
Perlu diketahui bahwa istilah syari’ah telah populer dalam bahasa Arab jauh sebelum adanya istilah fikih, karena kalimat syari’ah telah dipergunakan dalam agama yang dibawa oleh Nabi Nuh as, Nabi Ibrahim as, Nabi Musa as dan Nabi Isa as. Firman Allah :
Artinya: “Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang diwasiatkan kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya… (QS Asy-Syura: 13).
Syari’ah sebagaimana diuraikan yang lalu, adalah ; “Segala hukum yang telah disyariatkan oleh Allah kepada hamba-Nya, baik yang berdasarkan Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Adapun istilah fikih yang telah popular di kalangan kita dewasa ini, baru dikenal setelah generasi Islam yang pertama berlalu. (Muhammadiyah Jafar;1992:27). .
Pengertian fikih menurut bahasa adalah faham, mengerti. Orang yang faham tentang ilmu fikih disebut fakih yang jama’nya fukaha, artinya ahli hukum (fikih) Islam. Sedangkan menurut istilah: (Ilmu) Fikih adalah ilmu yang mempelajari tentang syari’ah.
Dalam kepustakaan Islam yang berbahasa Inggris, syariat Islam disebut Islamic Law, sedangkan fikih Islam disebut Islamic Jurisprudence. Antara syariat Islam dengan fikih Islam tidak dapat dipisahkan sekalipun dapat dibedakan. Pada pokoknya, perbedaan antara syariat dan fikih adalah sebagai berikut:

1. Syari’at terdapat dalam Al-Qur’an dan kitab-kitab Hadits (As-Sunnah), yang dimaksud disini adalah firman Tuhan dan Sunnah Nabi Muhammad saw, sedangkan fikih terdapat dalam kitab-kitab fikih, yang dimaksud di sini adalah pemahaman manusia yang memenuhi syarat tentang syariat.
2. Syari’at bersifat fundamental, mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dari fikih. Fikih bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada apa yang biasanya disebut perbuatan hukum.
3. Syari’at adalah ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, karena itu berlaku abadi. Fikih adalah karya manusia yang dapat berubah atau diubah dari masa ke masa.
4. Syari’at hanya satu, sedang fikih mungkin lebih dari satu seperti terlihat pada aliran-aliran hukum yang disebut mazahib atau mazhab-mazhab itu.
5.  Syari’at menunjukkan kesatuan dalam Islam, sedang fikih menunjukkan keragamannya (H.M. Rasjidi dalam Mohammad Daud Ali:1997:239).
Untuk lebih menjelaskan perbedaan syari’at dengan fikih sekaligus pula menunjukkan keeratan hubungannya, berikut ini dikemukakan contoh.

Secara sederhana, seperti telah disebutkan di atas, hukum syari’at adalah semua ketentuan hukum yang disebut langsung oleh Allah melalui firman-Nya (kini terdapat) dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad (kini terdapat) dalam kitab-kitab Hadits (Al-Hadits).
Yang dimaksud dengan hukum fikih adalah rumusan-rumusan hukum yang dihasilkan oleh ijtihad para ahli hukum Islam. Ketentuan hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan kitab-kitab Hadits, terutama yang mengenai soal-soal kemasyarakatan, pada umumnya, menurut ketentuan-ketentuan pokoknya saja, yang
harus diterapkan di dalam kasus tertentu yang muncul atau berada di dalam ruang dan waktu tertentu pula.
Misalnya. A menerima titipan barang B, atau A meminjam barang kepunyaan B. Sewaktu berada di tangan A barang titipan atau barang pinjaman itu hilang. Mengenai hal ini telah ditetapkan aturan (syari’at) di dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah:283)
“…Jika seseorang dipercayai oleh orang lain, hendaklah ia menunaikan amanat yang diberikan kepadanya itu…”
Di dalam ayat ini disebutkan bahwa orang yang diberi amanat harus menunaikan amanat itu sebaik-baiknya. Artinya, kalau ia diberi titipan ia harus mengembalikan titipan itu dan kalau ia memperoleh pinjaman (karena orang lain percaya padanya) haruslah ia mengembalikan pinjaman itu.
Akan tetapi kalau barang itu hilang, atau misalnya A tidak mengembalikan barang pinjaman itu, ketentuannya tidak disebutkan dalam ayat tersebut. Karena itu timbullah masalah fikih yaitu masalah pemahaman maksud ketentuan syari’at. Orang yang memenuhi syarat lalu berijtihad mengenai ganti rugi barang dimaksud, dari masalah ini kemudian timbul beberapa pendapat:
Menurut pendapat mazhab Hanafi, A harus mengganti kerugian yang diderita B sejumlah harga ketika barang itu dibeli oleh B. menurut pendapat mazhab Hambali, A mengganti kerugian pada B sebesar harga barang itu ketika hilang di tangannya.
Mazhab Syafi’i berpendapat lain, yakni A harus membayar kerugian pada B menurut harga tertinggi yang terjadi antara barang itu dibeli dan dihilangkan oleh A. (Hasbullah Bakry, 1982:3).
Dari contoh di atas jelas bahwa pendapat sebagai hasil pemahaman manusia, mungkin berbeda-beda. Dan inilah yang disebut dengan fikih. Ketentuan hukum yang dirumuskan oleh para mujtahid (orang-orang yang berijtihad), seperti telah berulang disebutkan di atas, disebut hukum fikih.
Hukum fikih, sebagai hukum yang diterapkan pada kasus tertentu dalam keadaan kongkrit, mungkin berubah dari masa ke masa dan mungkin pula berbeda dari suatu tempat ke tempat lain. Ini sesuai dengan asas yang disebut juga dengan kaidah hukum fikih yang mengatakan bahwa perubahan tempat dan waktu menyebabkan perubahan hukum (fikih).
Dari kaidah ini dapat ditarik kesimpulan bahwa kukum fikih cenderung relatif, tidak absolut seperti hukum syari’at yang menjadi norma dasar hukum fikih. Sifatnya zanni yakni sementara belum dapat dibuktikan sebaliknya, cenderung dianggap benar. Sifat ini terdapat pada hasil karya manusia dalam bidang apapun juga.
Berbeda dengan hukum fikih yang semuanya bersifat zanni (dugaan), hukum syari’at ada yang bersifat absolut. Sifat absolutnya itu disebut dengan istilah qath’i (pasti) tidak berubah-ubah.
Selain sifat tersebut di atas, perlu dikemukakan pula bahwa hukum fikih tidak dapat menghapuskan hukum syari ‘at. Ambillah misal, soal perceraian. Hukum syari’at membolehkan perceraian. Para ahli hukum Islam tidak boleh membuat ketentuan hukum fikih yang melarang perceraian.
Demikian juga halnya dengan ketentuan mengenai hak yang sama antara pria dan wanita untuk menjadi ahli waris. Hukum syari’at menentukan bahwa wanita dan pria sama-sama menjadi ahli waris almarhum orang tua dan keluarganya.
Hukum fikih tidak boleh merumuskan ketentuan yang menyatakan, misalnya, wanita tidak berhak menjadi ahli waris seperti keadaan dalam masyarakat Arab sebelum Islam (Ahmad A. Basyir, 1982:1).
Dari contoh di atas, jelas bahwa hukum fikih tidak boleh bertentangan dengan hukum syari’at apalagi ketentuan syari’at itu jelas bunyinya (qath’i), tidak mungkin diartikan lain dari makna yang disebutnya.
Dari uraian di atas jelas kekukuhan dan keabadian syari’at Islam dibandingkan dengan fikih Islam yang tidak abadi, karena dapat berubah atau diubah dari masa ke masa.
Hukum Islam, baik dalam pengertian syari’at maupun dalam pengertian fikih, dapat dibagi ke dalam dua bidang: (1) bidang ibadat dan (2) bidang mu’amalat seperti yang telah disinggung di muka. Hubungan dengan Tuhan dalam melakukan kewajiban sebagai seorang muslim waktu mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa selama bulan Ramadhan dan menunaikan ibadah haji, termasuk dalam kategori ibadat (murni).
Mengenai ibadah, untuk mengingatkan kembali apa yang telah disebut di   muka, yakni cara dan tata cara manusia berhubungan langsung dengan Tuhan, tidak boleh ditambah-tambah atau dikurangi. Tata hubungannya telah tetap, tidak mungkin diubah-ubah. Ketentuannya telah pasti diatur oleh Allah sendiri dan dijelaskan secara rinci oleh Rasul-Nya.
Karena sifatnya yang tertutup itu, dalam bidang ibadat (murni) berlaku asas umum yakni semua perbuatan ibadah dilarang dilakukan kecuali perbuatan yang dengan tegas disuruh orang melakukannya. Kaidah-kaidah yang menyatakan bahwa itu adalah perbuatan suruhan terdapat di dalam Al-Qur’an dan kitab-kitab Hadits. Kalau dihubungkan dengan lima kaidah dalam hukum Islam (al ahkam al khamsah), kaidah asal ibadah adalah dilarang.
Dengan demikian , tidak mungkin ada apa yang disebut modernisasi mengenai ibadat yaitu proses yang membawa perubahan dan perombakan secara asasi mengenai hukum, susunan, cara dan tata cara beribadat. Yang mungkin hanyalah penggunaan alat-alat modern dalam pelaksanaannya.
Mengenai bidang mua’malat, ketetapan Tuhan yang langsung berhubungan dengan kehidupan sosial manusia terbatas pada yang pokok-pokok saja. Penjelasan Nabi, kalaupun ada, tidak pula
terinci dalam bidang ibadat. Karena itu, seperti telah disebut juga di muka, terbuka sifatnya untuk dikembangkan melalui ijtihad oleh manusia yang memenuhi syarat untuk melakukan usaha itu. Karena sifatnya yang demikian, dalam bidang mua’malat berlaku asas umum, yakni pada dasarnya semua perbuatan boleh dilakukan, kecuali kalau tentang perbuatan itu ada larangan dalam Al-Qur’an dan kitab-kitab Hadits.
Untuk menyebut sekedar contoh, misalnya, larangan membunuh, mencuri, merampok, berzina, menuduh orang melakukan perzinaan, meminum minuman yang memabukkan (mibuk) atau sering disebut miras singkatan minuman keras, memakan riba.
Dengan demikian, kaidah asal mu’amalat adalah kebolehan. Artinya semua perbuatan yang termasuk ke dalam kategori mu’amalat, boleh saja dilakukan asal saja tidak ada larangan melakukan perbuatan itu. Karena sifatnya demikian, kecuali mengenai yang dilarang, kaidah-kaidahnya yakni perumusan fikihnya dapat saja berubah sesuai dengan perubahan zaman. Dalam bidang ini dapat saja dilakukan modernisasi, asal saja modernisasi itu sesuai, atau sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan agama Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar